Selasa, 07 September 2010

surat untuk wibi (based from true story my friend)

Medan, 24 Juli 2009

Hai Wibi, apa kabar ?? Semoga selalu dalam lindungan Allah swt. Gimana juga dengan keluarga ?? Semua sehat ? Dan, oh…. Mama kamu, sudah semakin pulihkah ingatannya ?? I hope so. Soalnya aku pengen banget dimasakin daging gulung buatan mama kamu. Mungkin daging gulung buatan mama belum pulih benar. Tapi resep daging gulung itu pasti masih terekam sangat nyata di ingatan mama kamu, isn’t right ?? Hahaha… Nothing impossible, right ??

Wibi, perlu waktu lama sekali sampai aku bisa menyadari, bahwa duniaku dan dunia kamu sudah tidak lagi sejalan. Bumi yang kupijak juga tidak sama dengan lagi dengan bumi tempat kamu menghirup udara. Tapi aku masih ingat semua tentangmu, kamu yang selalu membangkang dan tak pernah mau pangkas rambut, selalu datang paling pagi ke sekolah sebelum guru-guru datang – agar tidak tertangkap razia rambut di depan gerbang sekolah. Hahahaha, anak SMA banget ya ?? Meskipun, tetap saja satu penyesalan terbesarku Wibi, bahkan mungkin hingga saat ini – setelah beberapa tahun aku mengenalmu, aku tetap tidak pernah tau siapa kamu, bagaimana cara berfikirmu, siapa keluarga dan teman-temanmu – kecuali tentu saja mama kamu yang sangat sering menitipkan bekal untukku berisi daging gulung dengan sepucuk surat yang terletak tersembunyi hanya untukku, dan aku yakin kamu tak akan pernah tau tentang hal itu jika saja tak kuberitahu saat ini padamu. Mama kamu terlalu sering menuliskan bahwa aku berbeda, dan membuatmu menjadi berbeda juga – membawa begitu banyak perubahan dalam dirimu, perubahan menuju keceriaan. Jujur, aku sangat senang disanjung dengan cara seperti itu. Setidaknya aku bisa membuatmu menjadi sosok yang tidak ‘aneh’ lagi menurut mamamu, itu sudah cukup membuatku merasa senang. Walaupun, yahh…. Kamu tetap saja aneh di mataku, Wibi. Selanjutnya, izinkan aku untuk agak geer sedikit. Mungkin aku terlalu baik, atau ‘cantik’ menurut mamamu – walaupun kami tidak pernah begitu – tapi setidaknya itulah yang dituliskan mamamu di setiap pucuk surat-suratnya, hehehehe. Biarkanlah aku memuji diriku sendiri, Bi, karena kamu, seingatku, belum pernah sekalipun memujiku. Jangankan untuk memuji, bicara denganku saat orang lain berada di sekitar kita pun tidak pernah. Kufikir kamu malu atau sejenisnya. Atau memang kahabisan bahan bicara. Atau apalah.…aku tak pernah mengerti. Kamu memang tidak pernah bisa kumengerti. Padahal saat kita hanya berdua, kamu bisa ceritakan ‘segala hal’, tentang mamamu. Kamu begitu terbuka jika kita hanya berdua. Tapi tetap saja kamu asing bagiku. Seasing dirimu yang tak pernah menyebut nama rumahku, Inne. Kamu memanggilku ‘Andrine’, atau menyingkatnya ‘An’, padahal kamu tau pasti betapa berharganya sebuah kata panggilan untukku. Kamu tau, tidak semua orang kuizinkan memanggilku Inne. Dan kamu, kamu yang berarti, sekalipun tidak pernah memanggilku dengan nama itu. Yahh… kamu memang asing. Aku tetap tak bisa bahkan untuk sekedar menebak, “siapa kamu ??”

Pernahkah kamu tau Wibi, kamu adalah orang yang terlalu sering berada di sebelahku saat aku menangis. Tapi kamu tak pernah berusaha menghiburku, menenangkanku, atau apapun untuk membuatku tidak menangis lagi. Maka kamu menjadi sosok yang sangat menyebalkan bagiku, bukan hanya karena hal itu saja, tapi karena kamu memang sudah sangat menyebalkan sejak pertama kali aku mengenal kamu. Kamu menyebalkan dengan segala ketidakterbukaanmu, ketidakpercayaanmu, dan semua keanehan-keanehan yang ada dalam dirimu, Wibi.

Mungkin kamu juga masih ingat, pernah suatu ketika kamu sms aku dan berkata “dengerin cerita aku lagi donk…”, dan aku menolak dengan kasar – karena saat itu aku sedang patah hati. Kamu menelfon dan belum sempat kamu berkata hallo, aku sudah menjawabnya dengan “MAU CERITA APA LAGI SIHH ?? KAMU FIKIR AKU SENENG DENGERIN CERITA DARI SESOSOK ALIEN, HAHH ??!!! AKU GAK KENAL KAMU !! CARI AJA ORANG LAIN BUAT DENGERIN KAMU !!!”. Dan pintu kamarku diketuk saat itu juga, sampai sesaat kemudian pembantuku berkata, “Non, ada tamu. Lagi nunggu di teras..”. Kau tau Wibi, aku langsung bangkit dan langsung mengusap air mataku, lalu sedikit menyeka wajah dan bedakkan lagi. Kusongsong pintu teras dan tentu, sangat berharap bahwa itu Cahyo yang datang dan meminta maaf, lalu mengajakku pergi lagi. Dan betapa kecewanya aku Wibi, bahwa yang datang adalah kamu. Sudah terlambat untuk masuk lagi, di luar hujan, betapa tak tega menyuruhmu pulang begitu saja, maka kita pun duduk di teras rumahku. Di sore yang gelap. Hujan dan dingin. Aku selalu ingat saat itu, ketika aku menginjak teras ini. Dingin menusuk melalui telapak kakiku. Dan kini, setelah empat tahun aku pergi, aku datang lagi dan menginjak teras ini lagi, duduk di kursi yang sama dengan kursi yang kududuki saat itu dan kursimu ku biarkan kosong. Tapi bayanganku, tetap berada di hari itu. Because I’ll always remember. It was late afternoon. Rainy. Cold. Your yellow shirt. My white dress. In front of my house. Kita terlalu banyak bercerita, tentang mimpi dan cita-cita, tentang masa depan yang masih terkunci. Ketika kamu bertanya, “An, nanti kamu pengen nikah dengan siapa?? “, dan aku iseng menjawab asal, “Dengan pemilik hotel bintang lima, yang sukses dan kaya raya. Hahahahahahaha….”. Indah ya, Bi ?? Aku selalu tersenyum saat mengingatnya, termasuk saat ini.

Wibi, satu yang aku gak pernah sadar. Empat tahun mungkin benar-benar singkat. Lusa aku sudah sidang. Maka kusempatkan pulang ke kota ini untuk meminta restu pada kedua orangtuaku – ayah dan ibu tiriku – meskipun hanya dua hari. Aku ingin sekali bertemu denganmu, Wibi. Rindu itu meletihkan, kau tau. Benar-benar menyakitkan. Hmm…. Tapi kurasa tidak, karena aku menikmatinya. Suaramu, juga aromamu adalah kerinduanku. Juga kota ini, juga pagi ini, juga udara yang kuhirup saat ini, semua beratasnamakan kamu. Dan sebelum aku menyesal, aku ingin berkata bahwa aku mencintaimu, Yudhistira Wibisono..

Akhirnya, pagi ini aku harus berangkat dengan pesawat paling pagi. Maaf, hanya bisa meninggalkan surat untukmu. Aku tidak bisa menemuimu. Mungkin kau akan bisa puas melihat wajahku, nanti saat aku kembali. Aku minta doamu juga ya, agar sidangku berhasil esok lusa. Kalau tak berhalangan dan punya keluangan, datanglah. Aku mengundangmu untuk menjadi saksi pertama di pintu keberhasilanku. Sekali lagi maaf, aku tak bisa menemuimu. Karena mungkin aku takkan sanggup. Dan maaf, telah mengganggumu sepagi ini dengan suratku. Salam untuk mamamu ya, aku sangat berharap bisa menjadi menantunya, hehehehe (jangan dianggap serius, karena percayalah, itu selamanya takkan pernah terjadi).
Sampai jumpa lagi Wibi, semoga kita selalu punya cukup kebahagiaan untuk dapat selalu hidup bahagia…


Yang selalu menganggapmu Alien,


Andrine


Wibi menitikkan air matanya basah-basah. Surat ini ditulis kemarin dan adik Inne lah yang mengantarkannya ke rumah Wibi tepat pukul 5.21 pagi ini, sesuai permintaan dari Inne. Adik Inne pun tak pernah tau bahwa itu adalah permintaan terakhir dari Inne. Pesawat yang ditumpang Inne gagal take off dan jatuh. Seluruh awak pesawat meninggal dunia, tak satupun terkecuali, termasuk Inne. Perlu waktu lama untuk Wibi dapat berucap dengan jelas, saat adik Inne juga ikut menumpahkan kepedihan itu dalam bentuk air mata.
“ Inne, empat tahun adalah waktu yang terlalu singkat untuk menunggumu, aku tak pernah merasakan betapa lama waktu berjalan untuk menunggu kepulanganmu. Aku juga tak pernah merasa berbeda dunia denganmu, karena kamu selamanya ada disini. Mama sudah di surga, Ne. Dan aku sudah sembuh. Aku sudah sukses sekarang, Ne. Cita-citamu untuk menikah dengan pemilik hotel bintang lima tentu akan terkabul, jika kamu tidak pergi secepat ini…. Aku sangat sangat sangat mencintaimu, Inne….. “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar